Mengapai Nur Muhammad
Mugi katur dumateng sedulur kadhang kang Kinasih, Monggo sesarengan ngugemi ketauhidan Allah Subhanahu wa'ta'allaa,
Konsep Nūr Muhammad bukan sekedar doktrin kosmologi sufistik, malah telah menjadi paradigma pemikiran dan amaliyah bagi seluruh aktivitas kehidupannya dalam bentuk Musyāhadah Nūr Muhammad. Musyāhadah Nūr Muhammad terdiri dari tiga peringkat, yaitu: 1) Mengenal diri dan asal kejadian diri, 2) mematikan diri, dan 3) menyadari akan Sirr Allah dalam diri.
1) Mengenal Diri dan Asal Kejadiannya.
Maksud mengenal diri dan asal kejadian diri ialah menyaksikan dengan kesadaran hati yang penuh (dhauq) bahwa diri manusia itu ada sebab Nūr Muhammad. Nūr Muhammad adalah sifat Allah memancar dari Dzat yang tak dikenal. Keberadaan Nūr Muhammad sebagai manifestasi sifat Allah tercantum bersama Dzat -Nya, karena sifat melekat pada Dzat dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Sedangkan manusia dan alam terjadi dari Nūr Muhammad.
Jadi antara alam, manusia, dan Tuhan meski wujud dahirnya nampak berbeda-beda, namun pada hakikatnya adalah satu jua, karena alam dan manusia hanyalah manifestasi atau pancaran dari sifat-sifat Tuhan. Dalam pengertian demikian wujud alam adalah nisbi.
Berpangkal dari pemikiran di atas, manusia terdiri dua aspek, yaitu diri sebagai hamba dan diri sebagai insan. Diri sebagai hamba terstruktur dari empat unsur alam, yaitu tanah, air, angin, dan api. Sedangkan diri sebagai insan terstruktur dari anasir mada, madi, mani, dan manikam. Diri yang diliputi oleh anasir mada, madi, mani, dan manikam naik derajatnya dari statusnya sebagai hamba menjadi seorang insān khalīfatullāh.
Hakikat diri insan terkandung di dalam manikam, yaitu ruh yang berasal dari Nūr Muhammad. Sewaktu berada di dalam tarā‟ib, manikam dikawal oleh sahabat-sahabatnya yang empat, yaitu Camariyah, Tubaniyah, Tambuniyah, dan Uriyah. Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air, Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif dari unsur udara atau hawa.
Keempat-empat sahabat ini tidak lain adalah daya malaikat Jibrīl, Mikā‟il, Isrāfīl, dan Izrā‟āl. Jibrīl dan Mikā‟il melambangkan sifat Jalāl dan Jamāl Allah. Sedangkan Izrā‟il dan Isrāfīl sebagai itibār sifat Qohhār dan Kamāl-Nya. Atau dalam tasawuf jawa juga dikenal dengan sebutan saudara empat (dulur papat). Mereka senantiasa ada bersama-sama diri, membimbingnya menuju kehidupan anak insan yang sempurna, yaitu yang sadar akan asal-muasalnya dari hadirat Tuhan Yang Maha Esa.
2) Mematikan Diri sebelum Kematian
Mematikan diri dalam konteks ajaran tasawuf bukan berarti bunuh diri. Tetapi maksudnya selagi manusia masih hidup hendaklah memasuki alam kematian dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, mematikan diri ialah mati dalam hidup yang diusahakan secara sadar, yaitu dilakukandengan mem-fanā-kan diri ke dalam liputan Tuhan al-Hayyun melalui mushāhadah Nūr Muhammad.
Mati dalam hidup tidaklah berarti hancur dan musnah, justeru dalam kematian ini menusia memasuki alam kehidupan yang sebenarnya, yaitu hayyun. Di dalam hayyun, “wajah Tuhan” dapat dipandang. Sedangkan memandang “wajah Tuhan” adalah pengalaman yang diidam-idamkan seluruh penghuni surga. Mati dalam hidup menjadikan hidup semakin hidup.
3) Menyadari akan Sirr Allah dalam Diri
Menyadari akan sirr Allah di dalam diri berarti membenamkan segala rasa dan kehendak ke dalam liputan rūh idāfiy yang berada di relung hati yang paling dalam, yang menjadi sumber kehidupan, yang menjadi tajalliy Allah. Sirr berasal dari Nūr Muhammad, hakikat manusia. Kesadaran ini dinamakan kesadaran hakikat, menjadi intipati ma'rifatullāh.
Dalam Tasawuf mengajarkan, barang siapa yang telah sanggup menenggelamkan dirinya ke dalam kesadaran mushāhadah Nūr Muhammad sehingga mampu menyaksikan hakikat wujud yang satu, maka ia dapat menjadi manusia sempurna, karena perilaku dan segala aktifitasnya senantiasa berada dalam liputan murāqabah Allāh. Ia berpeluang menjadi awliyā' Allāh yang bertubuhkan alif seperti tubuh Rasulullah. Alif ialah iitibar bagi sifat hayyun Allah yang tidak pernah mengalami kematian.
Jalan Mushāhadah Nūr Muhammad
Menurut konsep tasawuf, manusia dapat mengetahui Tuhan hanya melalui kesadaran intuitif dan atau ilham yang dihasilkan dari jalan mushāhadah. Mushāhadah sebagai jalan ditempuh melalui shalat daim dan zikir.
a. Shalat Daim
Shalat didirikan bukan untuk menyenangkan Tuhan, tapi untuk berzikir (mengingat) Tuhan dan mencegah timbulnya perbuatan fakhshā' dan perbuatan munkar. Pemahaman yang demikian berimplikasi pada perlunya menunaikan shalat daim. Shalat daim ialah zikir yang diamalkan sepanjang masa, tidak pernah putus, di dalam diam atau bicara, sambil berehat maupun beraktivitas, ketika tidur maupun bangun, senantiasa sadar akan liputan la haula wala quwwata illa billah. Sehingga seluruhgerak tubuh adalah bahagian dari gerak shalat.
b. Zikir
Zikir dapat melenyapkan sifat-sifat hamba pada nafs insan. Apabila nafs terliputi zikir kalimat tayyibah "lā ilāha illā Allāh", kesadaran nafs akan liputan Tuhan kepadanya menyelubungi hati dan pikiran. Selanjutnya dalam peringkat kesadarannya yang paling dalam, pezikir memasuki alam fanā' yaitu alam kosong dari pelbagai angan-angan dan persepsi pikiran, sekaligus memasuki alam baqā' yaitu alam kekekalan dalam kesejatian diri. Pada tahap inilah mata hati manusia terbuka dan nampak di hadapannya terpampang jalan kebenaran.
Apabila tabir yang menyelubungi hati telah terbuka, maka manusia bisa melihat sesuatu sebagaimana apa adanya, penglihatannya tidak melampau dan tidak pula menyimpang dari apa yang sebenarnya berlaku, yaitu kebenaran al-Haqq Allāh Ta‟ālā.
Komentar
Posting Komentar
Alhamdulillah bisa bersilaturahmi